Makalah “Dinamika Aktualisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara”

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Dinamika aktualisasi Pancasila sebagai dasar negara

            Pancasila sebagai dasar Negara berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada awalnya bersumber dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam adat istiadat, serta dalam agama-agama dalam pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu nilai-nilai pancasila telah diyakini kebenarannya kemudian diangkat menjadi dasar Negara sekaligus sebagai ideology bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu pancasila, senantiasa melekat dalam kehidupan bangsa dan Negara Indonesia.

            Sebagai sebuah ideologi, pancasila tidak bersifat tertutup (statis) terhadap berbagai perubahan atau pemikiran-pemikiran baru. Pancasila bersifat terbuka (dinamis) yang mampu menyesuaikam dengan berbagai perubahan zaman ataupum pemikiran.

                 Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca: PKI)

 Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah  Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada  tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.

1.2 Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
Pasca kemerdekaan 17 agustus 1945 banyak peristiwa yang terjadi , antara lain :
a. Belanda ingin kembali menjajah indonesia
b. Pemberontakan terjadi dalam negeri seperti : PKI madiun(1948) DI/TII,PRRI Permesta dll.
c. Sistem pemerintahan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
– KNIP yang tadinya membantu presiden memegang kekuasaan legislatif dan turut menetapkan GBHN (maklumat wapres no.X 16 oktober 1945.

– Sistem kabinet presidensial sistem kabinet parlementer (maklumat pemerintah tanggal 14 november 1945 dan dibentuklah partai-partai politik (3 november 1945)
– Kekuasaan pemerintah dipegang oleh perdana menteri sebagai pemimpin kabinet dan menteri bertanggung jaab kepada KNIP yang berfungsi sbagai DPR
– Pada tanggal 27 desember 1949 dibentuk negara federal negara kesatuan republik indonesia serikat
– UUD 1945 diganti dengan konstitusi RIS (27 desember 1949 – 17 agustus 1950)
– Tanggal 17 agustus 1950 diberlakukan UUDS – juli 1959 yang juga menganut sistem parlementer
– Pada bulan september 1955 – desember 1955 diadakan pemilu I
– Pada tanggal 5 juli 1959 presiden mengeluarkan dekrit yang berisi :
1. Menetapkan pembukaan konstituante
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali dan UUDS tidak berlaku
3. Pembentukan MPR sementara

 

BAB II

PERMASALAHAN

 

Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan,  kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan  tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada).

Masalahnya,

  1. Asal mula istilah terbentuknya pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia ?
  2. bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ?
  3. unsur nilai Pancasila  manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan  ?
  4. bagaimana cara pelaksanaan UUD 1945 ?

 

BAB III

PEMBAHASAN

3.1  Pengertian Pancasila

Mengetahui asal usul sesuatu didalam praktik kehidupan adalah sangat penting, karena dengan mengetahui asal mula sesuatu hal atau peristiwa dapat mengetahui pengertian yang lebih mendalam dari hal atu peristiwa tersebut. begitu juga dalam hal pancasila, untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan denganya secara mendalam, maka kita harus mengetauhi asal mulanya

  1. 1.    Secara Etimologi

Pancasila berasal dari bahasa India yaitu bahasa sansekerta. panca berarti “lima” syila (dengan huruf i pendek) berarti “batu sendi”, “alas” atau “dasar”. syiila (dengan huruf i panjang ) berarti “peraturan”,”tingkah laku yang baik atau penting”. Syiila itu sendiri dalam bahasa Indonesia menjadi susila artinya tingkah laku yang baik. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pancasila berarti lima dasar sedangkan pancasyiila berarti lima aturan tingkah laku yang penting.

  1. 2.    Secara historis

Istilah pancasila pertama kali digunakan oleh masyarakat India yang beragama budha, dan pancasila itu sendiri berarti lima aturan atu five moral principles.
Istilah pancasila juga terdapat dalam kitab sutasoma karangan empu tantular didalam kitab ini pancasila berarti berbatu sendi yang lima selain itu juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima yaitu:

  • Tidak boleh melakukan kekerasan
  • Tidak boleh mencuri
  • Tidak boleh berjiwa dengki
  • Tidak boleh berbohong
  • Tidak boleh mabuk minuman keras

Dalam istilah jawa, pancasila disebut dengan istilah molimo yang terdiri dari lima golongan yaitu mateni (membunuh), maling (mencuri), madhon (berzina), madat (menghisap candu), main (berjudi). .dari keima larangan tersebut masih menjadi pegangan moral orang-orang jawa sampai sekarang.

 

  1. 3.    Secara terminologis

Dimulai sejak sidang BPUPKI tanggal 1 juni 1945, istilah pancasila digunakan oleh Bung karno untuk memeberi nama pada lima dasar atau lima prinsip Negara Indonesia merdeka.menurut beliau sendiri pancasila diperolehnya dari temanya yang seorang ahli bahasa.

Selain hal itu sebagian pakar seperti moh yamin notonogoro, driyakarya, berpendapat pancasila adalah filsafat oleh karena itu pancasila sebagai ratio dari pada kehidupan Negara dan bangsa itu yang sesuai dengan akal yang merupakan sumber kekuasaan jiwa bagi peningkatan martabat kehidupan manusia yang tidak ada taranya serta pandangan hidup dalam bernegara dan ideology Negara dalam arti cita-cita Negara yana menjadi basis bagi system kenegaraan.

3.2 Pengaktualisasian Pancasila Yang Terkandung Dalam Esensi Ke Lima Sila

Sila –sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, maka esensi seluruh sila-silanya merupakan kesatuan. Pancasila adalah kepribadian bangsa indonesia bukan dari luar. Adapun yang menjadi unsur-unsur pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Adanya pancasila terdapat di dalam dirinya sendiri, sebab itu pancasila adalah suatu subtansi yang mengandung esensi. oleh karena itu akan kami jelaskan esensi-esensi kelima sila tersebut beserta pengamalanya didalam kehidupan masyarakat.

1.Ketuhanan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Dan Sifat-Sifat Tuhan

Hakikat tuhan itu sendiri sebenarnya sangat sulit untuk diketahui,akan tetapi kita bisa melihat contoh yang dikemukaan aristoteles tentang adanya causa prima atau sebab pertama yang tidak disebabkan. berbeda dengan hakikat yaitu sifat-sifat tuhan yang lebih mudah kita pikirkan karena tuhan mempunyai sifat yang tidak terbatas,misalnya tuhan maha pengasih, penyayang, adil, sabar dan sebagainya.

Oleh karena itu kita sebagai manusia ciptaanya dan menjadi masyrakat Indonesia khususnya wajib bertaqwa kepada tuhan YME serta menjalankan segala perintahnya,selain itu kta sebagai makhluk tuhan harus bisa meniru sifat sifat yang ada pada diri tuhan meskipun dengan frekuensi yang jauh lebih rendah dibandingkan tuhan yaitu kita harus kasih saying sesama, adil, saling menghoramati dan lain sebagainya.

2.Kemanusiaan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Manusia

Kita tahu bahwa susunan kodrat manusia itu terdiri dari jiwa dan raga.jiwa terdiri atas akal, rasa, karsa.dan tubuh terdiri atas unsur-unsur benda mati tunbuh-tumbuhan dan binatang. Sedangkan menurut sifat kodratnya, manusia merupakan kesatuan individu dan makhlik sosial atau disebut dengan monodualis social, ekonomi, politik. Menurut kedudukan kodratnya, manusia merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan atau disebut dengan monodualis religion.

Oleh karena iu sebagai manusia yang mempunyai susunan, sifat, kedudukan kodrat yang sama kita harus dapat mencintai sesama, mengembangkan sikap tenggang rasa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

3.Persatuan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Satu

Kata satu merupakan sesuatu yang bulat, tidak dapat dipecah-pecah. persatuan Indonesia pada hakikatnya bahwa bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa dan mempunyai adat istiadat, agama, kepercayaan, kebudayaan yang berbeda-beda itu merupakan satu kesatuan.

Oleh karena itu didalam pergaulan satu sama lain kita harus dapat menunjukan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika, meskipun berbeda-beda kita harus saling menghormati, menjaga karena satu jua.selain itu kita harus menyadari bahwa kita bertanah air satu yaitu tana air Indonesia, sehingga harus cinta tanah air dan bangsa.

4.Kerakyatan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Rakyat

Rakyat adalah manusia-manusia yang bertempat tinggal disuatu Negara. istilah hakikat rakyat menunjukan keseluruhan, jadi bukan bagian-bagian, meskipun keseluruhan itu terdiri dari bagian-bagian.maka antara keseluruhan dan bagian ada hubungan yang erat.oleh karena itu kita harus saling bekerja sama, bergotong royong untuk mewujudkan cita-cita kita dan bangsa. Dan kita harus menjawab tantangan bersama, memecahkan persoalan secara bersama.dan musyawarah bersama hal ini semua harus dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan sehingga tercapai sifat kekeluargaan.

5.Keadilan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Adil

Adil disini dapat diartikan menempatkan sesuatu atau hak dan kewajiban pada tempatnya. berbuat adil kepada diri sendiri berarti berbuat yang serasi antara hak dan kewajiban, berbuat adil kepada masyarakat berarti berlaku adil sesama warganya.berbuat adil terhadap alam berarti kita tidak boleh berbuat semena-mena dan merusak lingkungan hidup.berbuat adil kepada tuhan berarti melaksanakan kewajiban terhadap Tuhanya.oleh karena itu kita harus bersifat adil terhadap diri kita, orang lain, alam Negara dan tuhanya.jangan sampai melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan social.

3.3 Penghayatan Pancasila

Untuk menuju pada pengertian penghayatan, maka perlu kiranya diketauhi pengertian menghayati dahulu. Pengertian menghayati merupakan satu (suatu) pengertian yang didalamnya terkandung unsur-unsur pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan, serta pengamalan. penghayatan adalah keadaan kemasakan jiwa (kejiwaan), jadi bukan soal akali saja.

Adapun menghayati pancasila berarti kita telah memiliki pengetahuan tentang pancasila dengan sebaik baiknya termasuk pembukaan undang-undang dasar 1945, juga tentang undang-undang dasar 1945.

Mengenai pengetahuan itu seharusnya berupa pengertian yang jalas tentang kebenaranya, yang selanjutnya harus dapat diresapkan dalam pikiran, sehingga tumbuh rasa kesadaran kita untuk menerimanya dan selalu ingat setia kepada pancasila, termasuk pembukaan dan undang-undang dasar 1945.

Dengan didorong oleh rasa kesadaran inilah yang didasari oleh pengetahuan atau pengertian yang sebaik-baiknya serta jelas tentang kebenaran tadi, mampulah kita untuk mengembangkan serta mengamalkan pancasila dengan sebaik-baiknya. Bilamana penghayatan pancasila ini dapat dikembangkan secara terus menerus, akan lahirlah mentalitas pancasila, sehingga dapat mewujudkan kesatuan cipta, rasa, karsa dan karya dalam mengemban hak dan kewajiban atas dasar nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyrakat. Hasilnya akan dapat mewujudkan manusia pancasila, bangsa pancasila, Negara pancasila, masyarakat pancasila, sejahtera, bahagia jasmaniah rokhaniah, sesuai dengan kepribadian manusia dan bangsa Indonesia.

Dengan demikian jelaslah bahwa apa yang menjadi titik tolak penghayatan pancasila adalah kemauan serta kemampuan manusia Indonesia itu di dalam mengendalikan dirinya serta kepentinganya agar dapat memenuhi kewajiban menjadi warga Negara yang baik.

      Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:

Pertama, nilai dasar,  yaitu suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat abstrak, bersifat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat,

maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.

Kedua, nilai instrumental,  yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas.

    Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praktislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu.

Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis  serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah  tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsistensi dalam tiga tataran nilai tersebut.

    Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.

    Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif  (berupa norma-norma) dan kategori operatif  (berupa praktik hidup).

Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan.

C. Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan  perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

D. Hakikat pembaharuan pancasila

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.

    Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi;

 faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).

2.2. Perubahan dan Kebaharuan

Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.

    Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya.

 Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini,  teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.

    Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya.

Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari luar.

    Prof. Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi  dan mengkreasi.

    Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di  masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain.

Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.

    Ideologi Pancasila bukanlah religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf,

sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk  diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.

    Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran itu,  bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia (Sastrapratedja, 1996: 3).

Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu meneneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

    Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan harus diperbaharui secara terus menerus,

sehingga mampu memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk  pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu kesatuan yang integral.

    Teori hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak.  Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.

  1. Masa Orde Lama
    Pada masa ini UUD 1945 belum dapat dilaksanakan dengan baik , banyak terdapat penyimpangan , antara lain :
    a. Dikukuhkannya ideologi nasakom
    b. Presiden ditetapkan menjabat seumur hidup

c. Demokrasi diarahkan menjadi demokrasi terpimpin
d. Presiden secara sepihak mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan UUD
e. Presiden membubarkan DPR (1960) dan membentuk DPR GR
f. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri yang berarti sebagai pembantu presiden dll
Karena pelaksanaan UUD 1945 terlalu menyimpan ini ,maka terjadilah peristiwa berikut :
– Terjadi pemberontakan PKI
– Rakyat menyampaikan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu :
1. Bubarkan PKI
2. Bersihkan kabinet dari unsur PKI
3. Turunkan harga / perbaiki ekonomi
Adanya Tritura ini menyebabkan lahirnya surat perintah 11 maret 1966 yang memberikan wewenang kepada letjen Soeharto untuk mengambil langkah-langkah bila menegembalikan keamanan negara.
B. Masa Orde Baru
Berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan keamanan negara dan amanat ,pada waktu itu MPRS mengeluarkan berbagai TAP . yaitu :
1. TAP no.XIII / MPRS / 1966 tentang kabinet negara
2. TAP no.XVIII / MPRS / 1966 permintaan maaf atas pengangkutan presiden seumur hidup
3. TAP no.XX / MPRS /1966 tentang sumber tertib hukum RI
4. TAP no.XXII /MPRS / 1966 tentang penyerdahanaan kepartaian ,keormasan dan kekayaan

5. TAP no.XXV / MRS / 1966 tentang pembubaran PKI
Pada saat itu kondisi politik dan ekonomi tidak menentu sebagai MPRS mengadakan sidang istimewa yang menghasilkan sebagai berikut :
1. Presiden soekarno tidak dapat menjalankan tugas sesuai dengan konstitusi dan tidak menjalankan GBHN
2. Mengangkat jenderal soeharto sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden baru hasil pemilihan umum
Dalam masa orde baru ini (1967-1997) pelaksanaan UUD 1945 belum juga murni dan konsekuen ,praktis kekuasaan presiden tidak secara langsung kekuasaan lembaga tertinggi dan tinggi negara dibawah kekuasaan presidan . Tetapi seluruhnya hampir dituangkan dalam mekanisme peraturan antara lain :
1. UU no.16/1969 dan UU no.5/1975 tentang kedudukan DPR,MPR,DPRD
2. UU no.3/1975 dan UU no.3/1985 tentang parpol da golkar
3. UU no.15/969 dan UU no.4/1975 tentang pemilu
Orde baru berakhir pada tahun 1998 yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto

 

BAB IV

KESIMPULAN / SARAN

Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman  bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir.

Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya. Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan

terjadi apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila.Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan wargamasyarakat Indonesia.

Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.


DAFTAR PUSTAKA

 

Drs. H. Kaelan, m.s. 2000. Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

http://www.scribd.com/doc/46635688/DINAMIKA-PELAKSANAAN-UUD-1945

http://prazcrott.blogspot.com/2010/12/dinamika-aktualisasi-pancasila-sebagai.html

http://pormadi.wordpress.com/2007/10/01/nilai-nilai-pancasila-dan-uud-1945/

eprints.undip.ac.id/3241/1/3_artikel_P’_Mulyono.doc

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar